Antinomi UU Desa dan UUPA

undang-undangOleh Amrizal J. Prang

SEJAK dibentuk UU No.6/2014 tentang Desa (UU Desa), pada 15 Januari 2014 lalu, yang dilanjutkan dengan penetapan PP No.43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa dan PP No.60/2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN, telah berimplikasi positif terhadap keberadaan pemerintahan dan keuangan desa, tidak terkecuali gampong-gampong di Aceh. Namun demikian, bukan berarti tidak ada dampak negatif terhadap kehadiran UU Desa.

Dalam konteks itu, saat ini sebagian gampong-gampong di Aceh, khususnya di Kota Lhokseumawe sedang melakukan pemilihan anggota Tuha Peuet dan Keuchik. Ada beberapa perangkat gampong menanyakan kepada saya landasan hukum yang digunakan dalam pemilihan tersebut. Mereka bingung menggunakan antara UUPA dan qanunnya atau UU Desa dan PP-nya, atau dapat diberlakukan keduanya. Apalagi, Qanun Kota Lhokseumawe tentang Pemerintahan Gampong, perintah Pasal 117 ayat (2) UUPA belum dibentuk. Sehingga, secara mutatis mutandis berlaku Qanun Aceh No.5/2003 tentang Pemerintahan Gampong.

Kurang sosialisasi
Kebingungan ini bukan tidak beralasan, karena jika menggunakan UU Desa, sebagian kontradiksi dengan UUPA, sehingga terkesan dualisme hukum. Misalnya, mekanisme pemilihan Tuha Peuet/Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dilakukan dengan demokratis (Pasal 55 ayat (1) UU Desa). Artinya, dapat dilakukan pemilihan atau musyawarah. Sebaliknya, Pasal 33 ayat (1) Qanun No.5/2003, dibentuk melalui musyawarah bukan dengan pemilihan. Begitu juga unsur-unsur Tuha Peuet/BPD, dalam qanun harus memenuhi unsur ulama, tokoh masyarakat, pemuda, perempuan, pemuka adat dan cendikiawan. [Pasal 31 ayat (1)]. Sedangkan, menurut Pasal 56 ayat (1) UU Desa, secara umum anggota-anggota BPD mewakili wilayah di desa setempat.

Perbedaan lainnya, sumber pendapatan dan jumlah dana desa/gampong. Dalam UU Desa dan PP No.60/2014, antara lain dari PAD, dana perimbangan, bantuan APBD provinsi, kabupaten/kota, APBN, hibah, dan pendapatan laninnya. Di mana jumlahnya berdasarkan usulan dalam APBN 2015, setiap desa dialokasikan minimal Rp 750 juta. Sedangkan, qanun tidak ada pendapatan gampong bersumber dari APBN, apalagi alokasi dana gampong sebanyak itu.

Realitas pemerintahan gampong ini seharusnya segera disikapi oleh pemerintah, khususnya pemerintah kota Lhokseumawe. Harus diakui bahwa kebingungan masyarakat implikasi kurangnya sosialisasi eksistensi UU Desa dan UUPA, serta qanun-qanun berkaitan dengan gampong. Pemerintah, baik pusat maupun Aceh dan kabupaten/kota terkesan mengabaikan pembinaan terhadap gampong. Perangkat dan masyarakat cenderung hanya menerima instruksi dari kecamatan dan Badan Pemberdayaan Masyarakat, tanpa dibekali pemahaman terhadap peraturan hukum dan pelaksanaan pemerintahan gampong.

Apalagi ke depan pemerintahan gampong akan mengelola dana hampir mencapai satu miliar rupiah. Sementara, kualitas pemerintahan gampong masih rendah, akibat kurangnya pembinaan dan peningkatan kapasitas pemahaman hukum dan pengelolaan dana gampong. Saya khawatir, perangkat gampong ke depan akan banyak berhadapan dengan penegak hukum. Sehingga, pengucuran dana tersebut menjadi kontra produktif. Padahal, tujuannya untuk peningkatan pembangunan dan kesejahteraan rakyat di gampong.

Oleh karena itu, keniscayaan seluruh pemerintahan gampong memahami keberadaan dan keberlakuan UU Desa dan PP-nya, serta UUPA dan qanun-qanunnya. Apakah memang UU Desa dan PP-nya dapat diberlakukan atau tidak? Aceh adalah salah satu daerah –termasuk DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Papua dan Papua Barat– berlaku otonomi asimetris (khusus) yang pemerintahannya diatur khusus dengan UUPA, sebagai peraturan khusus (lex specialist). Namun, dalam konteks desa/gampong, keberadaan UU Desa walaupun berlaku untuk seluruh Indonesia, juga sebagai UU khusus (lex specialist).

Mengapa keduanya disebut lex specialist? Hal ini karena dalam peraturan tertulis terdapat empat kategori, yaitu: 1) peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, berlaku bagi siapa saja dan abstrak; 2) peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, karena kekhususan subjek yang diaturnya; 3) peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, karena kekhususan wilayah berlakunya; dan, 4) peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, karena kekhususan daya ikat materinya (Jimly Assiddhiqie, 2010:18).

Dari deskripsi tersebut menunjukkan bahwa keberadaan dan keberlakuan kedua UU Desa dan UUPA adalah peraturan yang bersifat khusus karena subjek yang diaturnya. Subjek UU Desa adalah mengatur tentang pemerintahan desa termasuk pemerintahan gampong. Sedangkan, subjek UUPA mengatur mengenai kekhususan pemerintahan Aceh, termasuk pemerintahan gampongnya. Meskipun diberikan untuk Aceh, tetapi siapa pun terikat dengan UUPA. Lalu, kalau keduanya sama-sama khusus, sementara sebagian materi kedua UU tersebut kontradiktif (bertentangan), yang mana mesti di berlakukan?

Konflik regulasi
Konflik regulasi ini sebenarnya adalah hal biasa dan lumrah. Sebagai bagian dari sistem hukum yang bersifat dinamis (historisch bestimmt), maka tentu saja peraturan hukum (regeling) juga akan mengalami perubahan. Bahkan tidak mungkin tidak berubah karena tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap. Karena peraturan hukum dibuat oleh manusia dan untuk kepentingan manusia. Sementara, kepentingan manusia itu berubah-ubah menurut waktu dan tempat sehingga tidak mungkin diatur secara lengkap (Sudikno, 2012:57-58).

Untuk menyelesaikan konflik regulasi tersebut, maka perlu me-refleksi kepada asas-asas peraturan hukum, merupakan dasar dan salah satu dari empat tahapan realisasi hukum. Sebagaimana dikatakan Sudikno, yaitu: asas hukum; kaedah/norma hukum; peraturan hukum kongkret; dan, yurisprudensi. Keberadaan asas hukum sebagai tahapan realisasi hukum, tidak mengenal hirarki atau tingkatan dan tidak mengenal konflik. Walaupun, berbeda atau bertentangan satu sama lain, tetapi keduanya dapat eksis dan saling membutuhkan dan tidak dapat dipisahkan yang merupakan suatu antinomi (kenyataan kontroversi).

Artinya, dalam konteks keberadaan dan keberlakuan UU Desa dan UUPA berdasarkan asas lex specialist, keduanya tidak bisa saling mengenyampingkan. Namun, dalam asas peraturan perundang-undangan juga dikenal asas lex posteriori derogat legi priori (peraturan yang baru dapat membatalkan peraturan yang lama). Berdasarkan asas ini, dalam konteks pemerintahan desa/gampong, inilah antinomi menghadapkan UUPA dan UU Desa. Bahwa sangat jelas perbedaan dan bertentangan kedua asas tersebut, UUPA walaupun lex specialist tetapi peraturan hukum lama, sedangkan UU Desa peraturan hukum baru.

Namun, karena keduanya dapat eksis dan saling membutuhkan, maka berdasarkan kedua asas tersebut, UU Desa dan UUPA dapat diberlakukan sekaligus di Aceh. Di mana hal-hal yang sudah konkret diatur dalam UUPA maka pemerintahan gampong mengikuti UUPA. Sebaliknya, jika dalam UUPA tidak mengatur secara konkret, misalnya, berkaitan sumber keuangan pemerintahan gampong dari APBN maka niscaya mengikuti UU Desa.

Oleh karenanya, dalam Penjelasan Umum angka 13 mengenai Ketentuan Khusus UU Desa disebutkan: “Khusus bagi Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan kebijakan mengenai pengaturan Desa di samping memperhatikan ketentuan dalam UU ini juga memperhatikan: a) UU No.21/2001 joncto UU No.35/2008 tentang Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat; dan, b) UUPA. Untuk kepada seluruh kabupaten/kota di Aceh, segera melakukan sosialisasi kedua UU tersebut dan segera membentuk qanun tentang pemerintahan gampong, agar tidak menimbulkan kebingungan dalam masyarakat.

* Amrizal J. Prang, SH., LL.M., Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh dan Ketua Forum Silaturrahmi Tuha Peuet Kota Lhokseumawe. Email: j.prang73@gmail.com

sumber : http://aceh.tribunnews.com