* Penduduk Banda Aceh Sudah Padat
Kesimpulan itu dilontarkan Pusat Kajian dan Pengembangan Bisnis Ekonomi, Sosial, dan Teknik Universitas Syiah Kuala (PKP-BEST Unsyiah) berdasarkan hasil penelitian lembaga itu pada tahun 2009. Survei itu bertajuk Kajian Pengembangan Ibu Kota Provinsi Aceh. “Dalam salah satu poin laporan akhirnya disimpul dan disarankan bahwa perluasan wilayah ibu kota Provinsi Aceh perlu segera dilakukan untuk memenuhi tuntutan masyarakat, sekaligus menghadapi globalisasi dalam segala bidang,” kata Direktur PKP-BEST Unsyiah, Drs Fachrurrazi Zamzami MBA kepada Serambi di Banda Aceh, Senin (23/8).
Namun, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, kata Fachrurrazi, pemerintah Provinsi Aceh perlu segera meningkatkan pembangunan prasarana dan sarana, maupun fasilitas, umumnya fasilitas kesehatan, pendidikan, air bersih, dan listrik yang lebih baik untuk wilayah calon pengembangan. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat yang berada di wilayah pengembangan baru ibu kota Provinsi Aceh nantinya tidak merasa dikecewakan.
Menurut Fachrurrazi, hasil penelitian timnya terhadap Rencana Pengembangan Wilayah Ibu Kota Provinsi Aceh itu telah disampaikannya kepada Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, akhir tahun lalu. Gubernur Irwandi Yusuf yang dimintai Serambi tanggapannya usai buka puasa bersama wartawan di Hotel Hermes Palace, Senin (23/8) mengatakan, dasar pemikiran pengembangan wilayah ibu kota Provinsi Aceh itu adalah karena tuntutan masyarakat dan perkembangan zaman.
Untuk memastikan hal itu dan memperkuat argumentasi ilmiah kenapa Pemerintah Aceh sampai merasa perlu mengembangkan wilayah ibu kota provinsinya, maka dilakukanlah studi. Risetnya dipercayakan kepada PKP-BEST Unsyiah yang diketuai Drs Fachrurrazi Zamzami MBA, mantan pembantu rektor II Unsyiah.
Dari hasil penelitian yang dilakukan PKP-BEST Unsyiah itu, sebut Irwandi, ternyata 83,5 persen responden menyatakan, lima tahun pascatsunami penduduk di ibu kota Provinsi Aceh, yakni di Kota Banda Aceh, sudah sangat padat. Malah 78,5 responden menyatakan wilayah ibu kota Provinsi Aceh saat ini cenderung sempit. Akibatnya, 87 persen responden menyatakan lalu lintas di Kota Banda Aceh cenderung semrawut, karena banyaknya pengguna jalan dan juga disebabkan terbatasnya ruas jalan alternatif.
Kecuali itu, sebanyak 72 persen responden menyatakan bahwa keberadaan kantor-kantor pemerintah dan fasilitas umum (sekolah, rumah sakit, dan lain-lain) yang letaknya saling berdekatan merupakan salah satu penyebab terjadinya kemacetan di kota ini.
Irwandi menyebutkan, riset tersebut juga mengakomodasi tanggapan berdasarkan hasil wawancara 24 keuchik di wilayah Kabupaten Aceh Besar yang akan menjadi wilayah baru pengembangan ibu kota Provinsi Aceh. Tak terkecuali pendapat sejumlah akademisi Unsyiah dan IAIN Ar-Raniry, termasuk tokoh masyarakat yang berdomisili di Aceh Besar. Di antaranya, Prof Dr Jakfar Ahmad MA, Prof Dr Jamaluddin Ahmad MA, Prof Dr Rusjdi Ali Muhamad, Dr Faisal A Rani SH MHum, Eddi Nur Ilyas SH MH, mantan bupati Aceh Besar Drs Sanusi Wahab, dan Drs Zaini Azis, mantan Ketua Kadin Aceh Dahlan Sulaiman, politisi H Karimun Usman, Drs Munir Azis, dan lain-lain.
Perlu diperluas
Dari sisi pelayanan pemerintahan dan pelayanan umum kepada masyarakat, ungkap Irwandi, sebanyak 74 responden menyatakan letak kantor-kantor Pemerintah Aceh Besar jauh dan sulit dijangkau, sehingga responden menyatakan, masih mengalami kesulitan dalam mengurus administrasi.
Kecuali itu, 52 persen responden menyatakan pelayanan yang diberikan Pemerintah Aceh Besar belum baik dan sebanyak 71 persen menyatakan prasarana dan sarana yang disediakan juga belum memadai. Oleh karena itu, menurut Irwandi, mayoritas responden menyatakan ibu kota Provinsi Aceh yang terletak di Banda Aceh yang luasnya 61,35 km2, dinilai masih belum memadai, sehingga perlu diperluas lagi wilayahnya.
Sekda Aceh, Husni Bahri TOB didampingi Kepala Biro Pemerintahan Setda Aceh, Ali Alfata MM mengatakan, untuk membicarakan kembali rencana pengembangan wilayah ibu kota Provinsi Aceh itu, pada 26 Agustus 2010 akan dilaksanakan pertemuan antara Pemerintah Aceh dan Muspidanya dengan Pemkab Aceh Besar, dan Pemko Banda Aceh, termasuk anggota Muspida Plus dari masing-masing daerah.
Sekda berharap, pertemuan itu akan memberikan hasil positif bagi masyarakat, sehingga pelaksanaan pengembangan wilayah ibu kota Provinsi Aceh bisa segera dilaksanakan. Selain itu, Pemerintah Aceh pada penyusunan RAPBA 2011 nanti dapat pula memasukkan anggaran untuk pembangunan berbagai fasilitas umum di daerah wilayah pengembangan barunya. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan masyarakat, agar setelah masuk ke dalam wilayah ibu kota Provinsi Aceh yang baru, mereka menjadi lebih sejahtera dan bahagia.
Ibu kota Provinsi Aceh yang berpusat di Banda Aceh terakhir kali dikembangkan pada tahun 1983 dari dua kecamatan menjadi empat kecamatan. Setelah pemekaran kecamatan tahun 1999/2000, kini jumlahnya menjadi sembilan kecamatan. Setelah 27 tahun berselang, tidak pernah ada perluasan wilayah, dan kini mulai dipandang perlu dilakukan lagi perluasan, mengingat pesatnya pertambahan penduduk dan jumlah kendaraaan, sehingga sudah sangat layak wilayah ibu kota Provinsi Aceh yang luas hanya 61,36 km2, diperluas mencapai ratusan km lagi.
Ke selatan dan timur
Usul rencana perluasan wilayah ibu kota Provinsi Aceh itu, ungkap Sekda Aceh, didukung pula oleh hasil penilitian JICA, Jepang. Mereka menyarankan agar pengembangan wilayah ibu kota Aceh diarahkan ke selatan dan timur, Aceh Besar, yang meliputi 12 kecamatan di Kabupaten Aceh Besar.
Yakni, Ingin Jaya, Blangbintang, Kuta Baro, Darussalam, Krueng Barona Jaya, Peukan Bada, Darul Imarah, Darul Kamal, Baitussalam, sebagian atau 25 persen wilayah kecamatan Kuta Makmur, 50 persen wilayah Kecamatan Lhoknga, dan 20 persen wilayah Kecamatan Masjid Raya. Total arealnya menjadi sekitar 474,25 km2, memiliki 34 mukim, 259 gampong, dan 147.473 orang penduduk. (her)
Leave a Reply