Salam Serambi : Pepatah Aceh; som gasien peuleumah kaya (sembunyikan kemiskinan dengan penampilan kaya), tampaknya tak ada dalam kamus Pemko Banda Aceh. Itu setidaknya tercermin dari pengakuan Wakil Walikota Banda Aceh, Hj Illiza Sa’aduddin Djamal yang disampaikan secara terbuka kepada pers.
Illiza menyatakan, sejumlah program penanggulangan kemiskinan di Kota Banda Aceh, baik yang selama ini dilakukan pemerintah kota maupun pemerintah provinsi dan pemerintah pusat, banyak yang belum tepat sasaran. Meskipun jumlah masyarakat miskin cenderung menurun setiap tahunnya, namun masih banyak warga yang belum menerima manfaat dari berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan.
Banyaknya bantuan untuk masyarakat miskin yang penyalurannya tidak tepat sasaran, menurut Illiza disebabkan perbedaan data antara yang dimiliki Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang menjalankan program. Akibatnya, banyak program penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan, namun hasilnya belum maksimal.
Berdasarkan pendataan ulang yang dilakukan Pemko Banda Aceh pada tahun 2010, tercatat jumlah masyarakat miskin yang tersebar dalam sembilan kecamatan di ibu kota Provinsi Aceh ini mencapai 7.853 kepala keluarga (KK). Data terbaru itu diharapkan oleh Illiza menjadi acuan dasar bagi setiap program penanggulangan kemiskinan, baik oleh pemerintah kota, pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat.
Data Sensus Penduduk (SP) 2010 di Kota Banda Aceh juga mencatat jumlah keseluruhan penduduk kota ini sebanyak 224.209 jiwa terdiri 115.296 laki-laki dan 108.913 perempuan. Konsentrasi penduduk terbesar masih di Kecamatan Kuta Alam mencapai 18,79 persen diikuti Syiah Kuala 15,75 persen, Baiturrahman 13,60 persen, Lueng Bata 10,53 persen, Ulee Kareng 10,06 persen, Jaya Baru 10,03 persen, Banda Raya 9,31 persen, Meuraxa 7,28 persen, dan Kutaraja 4,65 persen.
Jika dikaitkan dengan jumlah penduduk Kota Banda Aceh yang mencapai 224.209 jiwa, maka angka kemiskinan sebanyak 7.853 KK itu memang relatif kecil atau sekitar 3,5 persen. Apalagi, menurut Illiza, jumlahnya cenderung menurun dari tahun ke tahun.
Meski secara kuantitas memang kecil, tetapi jika yang kecil tidak diurus dengan baik, dipastikan akan memicu persoalan sosial yang rumit. Karenanya keterbukaan Pemko Banda Aceh, sebagaimana dikatakan Illiza patut mendapat perhatian dari berbagai kalangan, agar usaha memberdayakan si miskin tidak hanya sebatas slogan.
Jalan pikiran Illiza untuk menetapkan kriteria masyarakat miskin berdasarkan indikator lokal yang lebih spesifik tampaknya perlu pula dicermati. Dengan cara begitu diharapkan sentuhan yang diberikan akan lebih tepat sasaran. Kalau hanya mengacu pada ‘kriteria hitam putih’, misalnya kriteria miskin karena lantai rumah hanya seluas 5-7 m2/KK, sumber air minum dari sumur, makan daging hanya sekali dalam seminggu, hanya mampu beli pakaian baru satu kali dalam waktu enam bulan, rasanya masih bisa diperdebatkan.
Tak jarang, di kawasan-kawasan pinggiran Kota Banda Aceh, cukup banyak kriteria seperti itu, tetapi setelah ditelusuri ternyata ternak sapinya ada 20 ekor, kambing ada 100, dan kebun dua hektare. Nah, kalau yang model begini, sentuhan yang dilakukan tentu saja beda. Mereka harus bisa diarahkan tentang pentingnya hidup sehat atau pemenuhan sandang-pangan-papan yang layak. Harus diarahkan agar potensi ekonomi yang mereka miliki bisa ditumbuhkembangkan secara maksimal hingga menyentuh berbagai kepentingan yang lain, seperti pendidikan, kesehatan, rumah yang layak, dan lain-lain.
Harus diakui bukan pekerjaan mudah untuk mengubah sebuah kebiasaan dan pola hidup. Namun dengan penanganan yang sungguh-sungguh dan tidak hanya sebatas menghabiskan anggaran proyek, berbagai kendala pasti bisa diatasi. Kebiasaan hanya memberikan ikan sudah bukan model pemberdayaan yang populer, tetapi kalau hanya sekadar memberikan pancing juga tidak bijaksana. Yang paling baik adalah berikan mereka pancing dan pandu mereka cara memancing.
Jangan langsung memvonis masyarakat itu bodoh atau tak mau berubah kalau pemerintah hanya sebatas membantu namun tak mau tahu dengan penggunaan bantuan itu. Sekali lagi kita ingatkan, memang bukan pekerjaan ringan untuk memerangi kemiskinan, tetapi bukan berarti tidak bisa.
sumber : http://www.serambinews.com/
Artikel terkait :
Leave a Reply