Apa yang dimaksud cita-cita yang tinggi?
Bercita-cita tinggi adalah ketika seseorang menganggap kecil atau sepele sesuatu yang dibawah sebuah cita-cita yang paling tinggi. Adapun dikatakan orang yang bercita-cita rendah adalah pada saat seseorang tidak berhasrat untuk sebuah prestasi yang tinggi dan ridha dengan sesuatu yang biasa-biasa saja. Syaikhul Islam berkata: “Orang awam sering mengatakan bahwa ‘Harga diri setiap orang tergantung pada apa yang menjadikan dia dilihat baik,’ adapun orang-orang tertentu (ulama) mengatakan ‘Harga diri seseorang sesuai dengan keinginannya.’”
Salafushshalih senantiasa menasehati: “Jagalah cita-citamu karena itu adalah permulaan dari amalmu, maka barang siapa benar cita-citanya dan jujur maka benarlah amal-amal setelahnya.” Ibnul Jauzi berkata: “Di antara tanda kesempurnaan akal adalah cita-cita yang tinggi.” Beliau juga mengatakan, “Saya tidak melihat aib seseorang sebagai aib layaknya seorang yang mampu mencapai derajat kesempurnaan kemudian dia tidak mewujudkannya.”
Cita-cita Tertinggi
Adapun cita-cita/obsesi tertinggi seorang mukmin secara mutlak tidaklah fokus kecuali kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, tidaklah meminta selainnya, tidaklah berupaya kecuali untuk keridhaan-Nya, tidak pula menjual ketaatan kepada-Nya dengan gemerlapnya dunia ataupun dengan segala sesuatu yang sifatnya fana, karena Allahlah yang tertinggi dan tempat menggantungkan kecintaan yang tertinggi. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Al Qoyyim: “Orang yang tertinggi himmah-nya adalah yang tertinggi merasakan nikmatnya mengenal Allah, mencintai-Nya, serta rindu akan perjumpaan-Nya.”
Sedangkan rendahnya obsesi seseorang merupakan sebab pertama seseorang itu akan sampai kepada kekerdilan, kenistaan, dan ketidakeksistensian. Seandainya umat ini sudah merasa cukup ridha dengan realita yang ada sekarang, serta penerus generasi mereka juga tidak memiliki obsesi untuk sebuah perubahan maka mereka akan tereliminasi dalam laju peradaban ini.
Adapun orang-orang yang senantiasa terpenuhi jiwanya dengan obsesi tinggi maka merekalah revolusioner yang akan senantiasa mengukir sejarah, sebagaimana kita telah melihat bagaimana sahabat-sahabat Rasulullah, mereka meruntuhkan imperium terbesar dan menaklukan dua Negara adikuasa ( Romawi dan Persia) dan dizaman mereka juga penaklukan-penaklukan yang lain seperti, India, Maroko, Spanyol dan lain-lain. Begitu juga saat kemulian dan tingginya semangat juang kaum muslimin seperti pada zaman Shalahuddin Al Ayyubi, mereka benar-benar menghinakan musuh-musuh Allah, mereka mengikat setiap sepuluh tawanan perang Nasrani dengan tali kemudian menukarnya dengan sandal. Pada saat mereka ditanya kenapa? Mereka menjawab: Kami akan mengabadikan kehinaan dan kenistaan mereka, yaitu kami jual pejuang-pejuang mereka dengan sandal. Maka benar-benar kehinaan mereka terabadikan.
Wahai saudaraku, sesungguhnya Anda sangat merindukan sesuatu yang kami juga merindukan. Kami senantiasa memimpikan sesuatu yang kami yakin anda juga mengimpikannya hal tersebut. Maka mulai detik ini pula, campakkanlah jauh-jauh himmah duniamu itu!! Ingatlah…himmah-mu yang membumbung tinggi adalah kontribusi yang sangat luar biasa harganya untuk kemuliaan Islam. Bolehlah kaki-kaki kita menapak dibumi ini, akan tetapi gantungkanlah erat-erat himmah-mu dilangit yang paling tinggi. Ingatlah kekerdilan, kehinaan, kenistaan umat sekarang ini tidak lepas dari kekerdilan obsesi kita.
Nasihat untuk Bercita-cita Tinggi
Umar ibn Al Khattab berkata: ”Janganlah engkau sekali-kali berobsesi rendah sesungguhnya saya belum pernah melihat orang yang paling kerdil dari orang yang berobsesi rendah.”
Ahli Balaghah mengatakan: “Uluwul Himmah merupakan nikmat yang tak ternilai.” Jika Jiwa seseorang itu besar maka akan dicapaikan dengan urusan-urusan besar pula.
Mu’awiyah pernah berkata: “Bercita-citalah kalian sesungguhnya saya mencita-citakan khilafah maka saya meraihnya padahal banyak sekali sahabat yang lebih berhak untuk meraihnya, barang siapa menginginkan kecuali dia akan meraihnya.”
Umar bin Abdul Aziz berkata: “Sesungguhnya aku memiliki jiwa yang berkeinginan sangat kuat, aku bercita-cita untuk tegaknya khilafah maka saya memperolehnya, aku menginginkan menikahi putri seorang khalifah maka aku mendapatkannya, aku bercita-cita menjadi khalifah maka aku mendapatkannya, dan aku sekarang menginginkan surga maka aku berharap untuk mendapatkannya.”
Dalil-dalil yang memerintahkan kita bercita-cita tinggi
“Dan orang orang yang berkata: ‘Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.’” [QS. Al Furqan: 74]
“Jika engkau meminta surga, mintalah surga firdus karena firdaus adalah surga yang paling tinggi.” [Mutafaqqun ‘Alaih].
“Sesungguhnya Allah menyukai permasalahn yang tinggi-tinggi dan mulia dan Allah membenci yang biasa-biasa.” [HR. Thabrani no 2894]
Apabila Jiwa Besar,Tubuh Akan Merasakan Kepayahan Menuruti Keinginan-keinginannya
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah mengatakan, “ Orang pintar disetiap umat sepakat bahwa kenikmatan itu tidak bisa didapat dengan kenikmatan pula. Siapa saja yang mementingkan kesenangan ia akan kehilangan kesenangan. Siapa yang menentang badai dan menghadapi rintangan, ia akan memperoleh kegembiraan dan kenikmatan. Tidak ada kegembiraan sama sekali bagi orang yang tidak punya Hasrat dan Cita-cita. Tidak ada kesenangan sama sekali bagi orang yang tidak punya Kesabaran. Tidak ada kenikmatan sama sekali bagi orang yang tidak pernah mengalami penderitaan. Dan tidak ada kenyamanan sama sekali bagi orang yang tidak pernah mengalami Kesusahan. Bahkan hanya dengan mengalami kesusahan sebentar saja, seseorang dijanjikan akan mendapatkan kesenangan cukup lama.
Hanya dengan tabah menanggung beratnya kesabaran beberapa lama, ia akan mampu mengendalikan hidup ini untuk selamanya.
Orang-orang yang mendapatkan kenikmatan yang kekal adalah karena mereka mau bersabar beberapa lama. Di tangan Allah lah letak pertolongan. Dan tidak ada daya serta kekuatan sama sekali tanpa pertolongan NYA. Semua orang pintar sepakat bahwa kesenangan yang sempurna tergantung pada kadar kesusahan yang dialami, dan kenikmatan yang sempurna itu tergantung pada proses ketabahan dalam menanggung beban yang berat.
Mulia dengan Cita-cita
Semakin mulia jiwa dan semakin tingi cita-cita, maka semakin besar yang harus dirasakan oleh tubuh sehingga jarang sekali menikmati kesenangan, sebagaimana yang dituliskan oleh seorang penyair :
Kesenangan, kelezatan dan kenikmatan yang ada didunia ini hanya baru bersifat sementara. Sedangkan kesenangan, kelezatan dan kenikmatan yang sejati dan abadi itu ada di surga nanti.
= = = = =
http://kilasku.blogspot.com/2010/08/mulia-dengan-semangat-dan-cita-cita.html
http://muxlim.com/blogs/belajarislam/cita-cita-yang-tinggi-adalah-bendera-kesungguhan/
Leave a Reply