PKK bukan Perempuan Kurang Kerja!

oleh : Khuzaimah Ibr

logo PKKPEMBERDAYAAN Kesejahteraan Keluarga (PKK) tidak lagi dianggap sebagai penggerak strategis di tengah-tengah masyarakat Aceh. Pascamusibah gempa dan tsunami, warga Aceh lebih percaya kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi nonpemerintah (NGO) asing. Urusan pemberdayaan masyarakat seakan LSM dan NGO-lah rujukannya. Tidak salah, memang. Tetapi penting diketahui, bahwa lebih dari setengah abad silam atau tepatnya sejak 1961, PKK sudah memulai kerja-kerja untuk pemberdayaan masyarakat.

Semua orang pasti tahu 10 program pokok PKK. Adanya pengembangan nilai-nilai gotong-royong, pemenuhan sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan perencanaan kehidupan keluarga merupakan wujud dari program inti PKK. PKK membentuk satu rumusan di mana perempuan yang selama ini terkungkungi oleh batasan-batasan adat dioptimalkan untuk menunjang kesejahteraan keluarga. Perempuan dibentuk sebagai model dan motor pembangunan baik fisik maupun nonfisik.

 Terlanjur ‘paranoid’
Memang di banyak tempat, masyarakat terlanjur paranoid dengan pemerintah. Padahal, seperti sejenis obat yang bisa menyembuhkan penyakit, tidak akan bereaksi memulihkan fisik, jika jiwa tersebut tak percaya akan khasiatnya. Begitu juga saat ini, organisasi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) hanya dilihat sebagai kelengkapan pelaksana pemerintah. Lebih buruk dari pada itu, banyak pula kaum adam yang secara nyeleneh memplesetkannya sebagai “perempuan kurang kerja”.

Padahal, kenduri mana yang tidak melibatkan tenaga perempuan? Perempuan tidak saja sibuk di dapur, namun juga ikut andil dalam mengisi peran laki-laki hingga menjamu tamu. Amati juga kampung-kampung yang memiliki Tim Tari atau Tim Seulawet perempuan. Atau boleh juga saksikan kampung-kampung yang memiliki bisnis-bisnis makanan ringan. Siapa lagi penyokongnya kalau bukan ibu-ibu PKK. Ibu-ibu yang benar-benar relawan sejati tanpa bayaran sepeser pun.

Di tatanan nasional, PKK memiliki peran dalam cakupan yang lebih besar. Kader PKK juga terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan besar yang dijalankan oleh BKKBN seperti penyuksesan kegiatan Posyandu, program bina keluarga balita (BKB), bina keluarga remaja (BKR), bina keluarga lansia (BKL), usaha peningkatan pendapatan keluarga (UPPKS), dan UP2K. Kader PKK lah yang menjadi motor penggerak kegiatan tersebut hingga level kelurahan.

Di lain sisi, kader PKK juga yang menyokong realisasi program perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan. Begitu juga kader PKK yang menjadi pelaksana tugas dasa wisma, dimana mereka mengumpulkan data warga, bayi, balita, ibu hamil, angka kematian anak dan ibu, dan tentunya banyak kegiatan lainnya yang selama ini tidak terpublikasi di media massa. Dengan demikian, sungguh tidak layak PKK diterjemahkan sebagai perempuan kurang kerja.

 PKK di Aceh
PKK secara kelembagaan memang sudah terstruktur dengan baik mulai dari level pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga tingkat kelurahan/gampong. Penggerak PKK di setiap tingkatan tersebut tentunya memiliki perbedaaan yang sangat signifikan. Ibu-ibu PKK pusat yang notabene kalangan istri pejabat Pemerintah Pusat tak bisa disangkal lebih agresif, kreatif, dan produktif.

Secara personal, mereka memang perempuan-perempuan dengan pendidikan yang sangat baik. Tentu, sulit membandingkan dengan penggerak PKK di level gampong, yang mana mayoritas mereka hanyalah seorang ibu rumah tangga dengan pendidikan seadanya. Karena itu, upaya untuk merealisasikan 10 program pokok PKK masih belum optimal.

PKK masih dilihat sebagai wadah menggosip. PKK juga masih dilihat sebagai tempat menyimpan gelas dan piring umum milik gampong. Buruknya lagi, tokoh-tokoh adat acap kali menyepelekan peran PKK. Seakan-akan PKK hanyalah kerjaan domestik dan dinilai tidak memberikan arti yang besar dalam perbaikan kualitas masyarakat.

Untuk itu, kerja-kerja PKK harusnya mendapatkan perhatian khusus baik dari pelaksana pemerintah maupun dari tokoh-tokoh masyarakat itu sendiri. Upaya pembinaan harus dilakukan terus-menerus sehingga kader-kader PKK memiliki keahlian vocational tertentu di tengah-tengah masyarakat.

Keahlian tersebut tentunya diharapkan bisa memecahkan masalah masyarakat. Apalagi, masalah yang dialami oleh masyarakat di level gampong itu begitu kompleks dan konprehensif. Lihat saja angka kriminalitas masih tinggi. Perilaku seks bebas dan seks menyimpang juga bak api dalam sekam.

Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga juga belum menurun. Penelantaran pendidikan terhadap anak-anak dengan usia wajib sekolah masih terjadi. Lain lagi kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan yang belum terpenuhi dengan baik karena berbagai alasan.

 Optimalisasi PKK
Masalah-masalah tersebut bukanlah keniscayaan untuk dipecahkan oleh PKK. Apalagi jika kaum pria ikut menyokong kerja-kerja PKK. Harapan ini tentunya juga sejalan dengan keinginan Pemerintah Aceh yang ingin membangun Negeri Syariat ini dari gampong ke kota. Optimalisasi kader-kader PKK akan mempercepat laju pembangunan Aceh di semua sektor.

Di lain sisi, besar harapan penggerak PKK di level gampong tidak melihat lembaga ini sebatas kewajiban istri kepala desa saja. PKK harus dilihat sebagai paru-paru masyarakat sehingga saban waktu bisa memproduksi oksigen yang sehat. Setiap penggerak PKK di masing-masing gampong juga mesti membangun kondisi kompetitif antar PKK.

Dengan demikian akan terjadi transfer komunikasi dan ilmu antar satu gampong dengan gampong yang lainnya. Jadi, PKK itu bukanlah perempuan kurang kerja, melainkan sebenar-benarnya upaya pemberdayaan kesejahteraan keluarga.

* Dra. Hj. Khuzaimah Ibr, M.Ag, Widyaswara Madya BKKBN Provinsi Aceh, dan Wakil Ketua Pokja IV Tim Penggerak PKK Provinsi Aceh. Email: khuzaimah_ibr@yahoo.com

sumber : http://aceh.tribunnews.com

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*