Oleh Bulman Satar
Akhir agung kehidupan bukanlah pengetahuan melainkan tindakan. (Thomas Henry Huxley)
PEMBANGUNAN Aceh ke depan akan menghadapi tantangan cukup berat. Problem mismanajemen diperparah oleh ketergantungan sumber daya akut pada pemerintah pusat, serta rendahnya kemampuan untuk mengakumulasi sumber daya tersebut untuk memperkuat kapasitas keuangan daerah sebagai modal dan garansi bagi pembangunan berkelanjutan hingga berujung pada akumulasi kegagalan dan kesia-siaan pembangunan telah membawa Aceh pada situasi yang cukup mengkhawatirkan.
Turunan nyata dari tanda-tanda bahaya ini adalah fakta kemiskinan yang seolah kini sudah identik dengan Aceh dan tak kunjung terentaskan. Jika kita amati dalam keseharian, maka tidak ada isu paling populer sekaligus menguras pikiran publik Aceh belakangan ini selain isu kemiskinan, plus pengangguran. Publikasi intens media mengutip sumber BPS akan fakta kemiskinan dan pengangguran di daerah ini dengan catatan selalu masuk dalam kelompok peringkat terburuk baik secara nasional maupun se-Sumatera telah mengundang pertanyaan besar di benak publik nanggroe ini, mengapa? Apa yang salah dengan naggroe ini hingga tak kunjung sejahtera –bukan hanya bagi sebagian elite tapi untuk seluruh rakyatnya– padahal memilki anggaran pembangunan sangat besar, bahkan lebih besar dari rata-rata daerah lain di Indonesia, namun kondisi kesejahteraan mereka justru lebih baik dari Aceh. Di mana letak salah urusnya?
Manajemen tindakan
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini sesungguhnya ada pada “manajemen tindakan”. Memahami frase ini untuk mengurai persoalan kekinian Aceh, tidak jauh kita dapat merujuk pada prestasi yang ditoreh mantan Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias, Kuntoro Mangkusubroto. Seperti kita ketahui, pada 2012 lalu Kuntoro menerima anugerah gelar kehormatan dari Northeastern University, Boston, Amerika Serikat, dan menjadi satu-satunya penerima gelar kehormatan dari luar AS pada event penganugerahan itu. Kuntoro dalam kiprah profesionalnya oleh NU dinilai berprestasi dengan terobosan-terobosan baru hingga memberi kontribusi signifikan dalam bidang civil service, layanan publik. Satu track record yang menjadi referensi dan variabel penilaian mereka menganugerahkan penghargaan prestisius ini adalah keberhasilan Kuntoro dalam memimpin program rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh-Nias pascabencana gempa bumi dan tsunami 2004 lalu. Sebagai Kepala BRR NAD-Nias, Kuntoro dinilai sukses menjalankan mandat lembaganya hingga diakui sebagai model bagi dunia untuk program recovery paska bencana.
Satu core-point disebut-sebut sebagai alasan mengapa Kuntoro dianggap layak mendapat anugerah penghargaan bergengsi ini adalah keberhasilannya dalam menerapkan manajemen keputusan. Saya sendiri sebelumnya tidak terlalu familiar dengan frase ini; manajemen keputusan. Namun setelah mengulang-ulang ingatan akan model dan etos kerja BRR NAD-Nias, saya memberanikan diri untuk mengambil kesimpulan bahwa begitulah barangkali yang dimaksud dengan manajemen keputusan –atau mungkin dalam istilah lain cenderung lebih saya sebut sebagai manajemen tindakan karena sesungguhnya tindakan itu tidak lain adalah keputusan yang operasional.
Ciri utama manajemen tindakan dalam budaya kerja di BRR NAD-Nias adalah anda tidak diminta berbicara dengan “bahasa langit” melainkan dengan “bahasa bumi”. Teori dan konsep dianggap telah selesai dengan lahirnya Blue Print. Makanya Anda tidak akan ditanya bagaimana pendapat dan pandangan Anda, tapi diajukan pertanyaan super konkret; Apa yang akan Anda hasilkan dalam seminggu dan sebulan ke depan –bahkan dalam fase genting pada moment-moment terakhir masa kerja BRR, update progress dan kinerja dilakukan bukan lagi dalam durasi minggu dan bulan, tapi hari bahkan jam– dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, terutama bagi pejabat struktural BRR NAD-Nias, adalah “utang” yang akan ditagih dalam forum rapim (rapat pimpinan) yang dikelola secara ketat oleh unit “mesin turbo” penggerak kerja-kerja BRR NAD-Nias: Pusat Pengendalian dan Percepatan Program Wilayah dan Sektoral (P4WS). Tak heran moment rapim ini menjadi moment “bayar utang” penuh tekanan dan buat stress. Sangking tertekannya seorang pejabat BRR dengan wajah tegang dan cemas pernah spontan berucap, “ini rapim dua hari lagi, demam saya. Progress kita rendah sekali, bisa ‘hajab’ ini saya ‘dihajar’ Pak Kun” (sapaan akrab pegawai BRR NAD-Nias untuk Kuntoro Mangkusubroto). Jadi tidak ada “nama besar” di BRR, melainkan “kerja besar”. Anda tidak dinilai dari pangkat, golongan, lulusan, dan gelar akademis, melainkan semata-mata dari kinerja. Olah kata dan retorika tidak akan laku. Juga tidak ada ruang untuk cengengesan atau teugeuriheng-geuriheng di BRR, karena memang yang dituntut semata adalah unjuk kinerja, bukan setor muka. Setiap jabatan dan posisi adalah pertaruhan, sementara style dan mental tipikal “pejabat” pun luruh, lumer dalam kultur dan standar kerja ketat dan tinggi yang menuntut semua personel berkontribusi sebagai “pekerja”.
Manajemen tanpa ampun
Dapat dipahami “manajemen tanpa ampun bagi semua” ala BRR NAD-Nias ini tak terlepas dari beban dan tekanan besar, serta berlapis yang dihadapi oleh lembaga ad-hoc ini. Mulai dari pertanggung-jawaban struktural kepada presiden, pertangung-jawaban moral baik pada rakyat Aceh sebagai korban bencana maupun kepada negara/lembaga donor, hingga tak kurang sorotan media dan kritik tajam dari berbagai pihak. Menghadapi tekanan mahaberat ini membuat manajemen BRR NAD-Nias tak ada pilihan selain beroperasi bagaikan peuneurah yang memaksa setiap personelnya bekerja all-out. Zero comfort zone, tidak ada istilah “zona aman”. Semua personel dituntut untuk menjadi the man of action, the man of solution, sementara posisi personel juga tidak ada yang permanen, naik turun sesuai dengan rekam kinerja. Semua dituntut berpikir dan bekerja keras dalam budaya kerja yang nyaris tidak mengenal istilah hari minggu, larut malam, bahkan subuh. Makanya pernah berkembang haba guyon di beberapa kalangan pegawai BRR NAD-Nias kala itu; Setiap hari adalah hari Senin, setiap jam adalah jam 9 pagi. Terdengar gila memang, namun kegilaan inilah kunci sukses BRR dalam membangun kembali Aceh-Nias hingga melambungkan nama Indonesia di mata dunia dalam diskursus post-disaster recovery mangement.
Catatan ini tidak bermaksud menjura-jura mengklaim lembaga dan kinerja BRR NAD-Nias adalah paripurna. Tak ada gading yang tak retak. Ungkapan ini juga berlaku bagi BRR. Dengan segala prestasinya BRR juga memiliki kekurangan dan kelemahan di sana sini. Ruang kritik terhadap lembaga ini pun akan terus terbuka, bahkan hingga kini setelah ia menjadi sejarah. Lantas, apa pentingnya legacy dan best practise manajemen kerja BRR NAD-Nias ini dalam konteks persoalan Aceh terkini sebagaimana saya gambarkan dalam dua paragraf pembuka di atas?
Jawabannya adalah karena Pemerintah Aceh kini sesungguhnya mengalami tekanan kurang lebih sama dengan apa yang pernah dihadapi oleh BRR NAD-Nias, plus dengan segala tantangan yang akan terus menghadang mereka di depan, khususnya terkait dengan sentimen dana otsus yang hingga saat ini masih menjadi sumber utama pembiayaan pembangunan Aceh. Dalam konteks ini, dilihat dari perspektif sustainable development, rentang waktu lima tahun ke depan sesungguhnya adalah frase sangat krusial bagi Aceh. Dalam periode ini Aceh masih akan menerima dana otsus sebesar 2% dari DAU (Dana Alokasi Umum), dari pemerintah Pusat. Setelah itu hingga berakhir pada 2027, turun menjadi hanya 1% saja.
Sementara di sisi lain, kurang lebih Rp 50 triliun dana Otsus yang telah diterima Aceh sejak 2008, hingga saat ini belum mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi Aceh secara signifikan. Stimulan dana otsus untuk mengakumulasi modal dalam bentuk peningkatan pendapatan asli daerah masih jauh dari maksimal. Pertumbuhan ekonomi juga mandeg, produktivitas rendah, tidak mandiri dengan pemenuhan kebutuhan masih sangat tergantung pada provinsi tetangga, paralel dengan kondisi kemiskinan yang juga tak kunjung stabil menunjukkan trend membaik. Suka tidak suka ini inilah kondisi yang kita hadapi saat ini. Karenanya tidak bisa tidak selain Pemerintah Aceh mulai saat ini sudah harus memikirkan exit-strategy pascadana otsus untuk memastikan Aceh tidak kelimpungan bahkan collapse karena tidak sanggup menanggung beban berat akibat gagal memenuhi target outcome dan impact pembangunan.
Bisa dijadikan model
Nah, dalam maksud aplikasinya dalam kerja-kerja birokrasi pembangunan Aceh, maka beberapa karakter dari manajemen tindakan ala BRR ini sesungguhnya bisa dijadikan model untuk melecut kinerja Pemerintah Aceh ke depan. Arah, intstruksi, dan target kerja yang jelas, taktis, tegas, riil, tidak ada tempat bagi “akan”, “sedang dalam proses”, “butuh tahapan-tahapan”,”tengah diupayakan”; semua terukur dan konkret, skema kerja integratif (tidak ada tempat bagi ego-sektoral), komprehensif (hulu-hilir), kontrol ketat dan melekat (tidak lepas angin), manajemen data konsisten –nol sama dengan nol–, rapat-rapat bukanlah ritual soh tanpa tindak lanjut melainkan senantiasa berorientasi pada aksi dan solusi.
Tidak ada pidato melainkan briefing, tidak ada musyarawah melainkan desk, tidak ada budaya disposisi yang membuat tanggung-jawab kerja menumpuk semata menjadi beban staf (dan tenaga kontrak) melainkan proportionally distributed pada semua level struktural hingga staf paling bawah, dengan setiap posisi dan jabatan adalah fungsional: tidak ada tempat bagi jabatan simbolis-oralis-seremonialis bergaya bossy yang hanya tahu beres sekadar perintah sana perintah sini, bergaya jadi bintang iklan atau opinion maker di media, jadi tukang pidato dan pembuka acara, tukang teken, atau malah sibuk ngurusin, mengulik-ulik abesensi (staf).
Tidak ada sosok penguasa mistis dalam kultur patrimonial di BRR. Penegakan disiplin dan penekanan kinerja justru dimulai dari atas untuk menjadi contoh ke bawah, bukan sebaliknya. No excuse, dari pimpinan hingga bawahan sesuai porsi semua adalah setara sebagai pekerja dalam pengertian paling harfiah; serta yang lebih penting, adanya goodwill dari pimpinan tertinggi dengan segala kewenangan yang dimilikinya untuk mem-back-up seluruh tahapan dan skema kerja manajemen tindakan ini.
Dapat dipastikan gagasan tentang manajemen tindakan ini akan terdengar tidak asyik ditengah kegandrungan akan zona aman yang sudah terlanjur membeku dalam mental birokrasi kita yang mabuk mendewakan hirarki dan struktur; juga bisa jadi naif di tengah kondisi kekinian Aceh dengan hiruk pikuk kontestasi berbagai kepentingan yang saling bertarung memuaskan birahi sambil membangun pembenaran sesuai versinya masing-masing. Dalam kondisi seperti ini bahkan solusi pun menjadi barang tak laku, dianggap kerikil pengganggu ketika ia mengusik zona aman atau bertabrakan dengan kepentingan pribadi dan kelompok.
Namun inilah satu-satunya pilihan jika kita memang masih berharap Aceh ke depan bisa lebih baik. Karena itu, kini dan seterusnya tidak ada yang lebih dibutuhkan Aceh selain kombinasi kehadiran kepemimpinan politik dan birokrasi “gila”, yang anti-biasa, kuat dan mampu mengamputasi segala bentuk hegemoni di tubuh birokrasi yang berujung pada kesia-siaan tak berkesudahan ini; progresif dan punya keluasan visi dan determinasi untuk mengentaskan kemandegan akut ini dalam sebuah semangat membangun satu semesta Aceh, serta mampu mengkosolidasi semua energi dan sumberdaya untuk mendorong akselerasi pembangunan dengan mengadopsi prinsip-prinsip kerja “manajemen tindakan”, sehingga pembangunan Aceh betul-betul berhasil guna, tidak hanya sekadar tidak mubazir dan sia-sia tapi juga sekaligus mampu menyejahterakan dan meningkatkan kualitas kehidupan rakyat Aceh secara total dan menyeluruh.
* Bulman Satar, eks pekerja Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, tinggal di Banda Aceh. Email: abul_03@yahoo.com