Kisah Kereta Angin Negeri Tulip

Majalah Tempo 11 OKTOBER 2010 INTERMEZZO

SUATU siang di Paleis Huis ten Bosch, istana Ratu Beatrix di Den Haag, Belanda. Sang Ratu dijadwalkan menerima laporan tentang pembentukan kabinet baru negeri itu. Seorang pengendara sepeda dengan santai memasuki pintu depan istana dan berhenti di depan petugas protokol. Sang petugas dengan sigap menyilakan sang pengendara masuk. Sepedanya kemudian diparkirkan oleh sang petugas.

Pengendara sepeda itu adalah Piet Hein Donner, Menteri Sosial dan Tenaga Kerja Belanda, yang datang melaporkan hasil pembentukan kabinet. Untuk misi sepenting itu, ia tiba tanpa iringan mobil dan pengawal, tapi mengayuh sepeda sendirian.

Cerita semacam ini memang melegenda di Negeri Kincir Angin. Kisah ini menunjukkan betapa sepeda telah membudaya di negeri itu. Tapi tak semua pihak bisa memahaminya. “Saat saya menceritakannya dalam sebuah seminar, seorang peserta dari Inggris bertanya, ‘Apakah sang Menteri tidak diberhentikan dari pekerjaannya, karena tidak menghormati Ratu (dengan naik sepeda ke istana)?'” kata Hans Voerknecht dari Fietsberaad atau Badan Konsultasi Sepeda Belanda.

Tentu saja tidak. Seperti ditulis sejarawan Belanda, Han van der Horst, dalam buku Low Sky, Understanding the Dutch, “Di Belanda, kesederhanaan adalah sebuah kebajikan.” Mungkin itulah kata kuncinya: kesederhanaan. Kebersahajaan alat transportasi yang bernama sepeda itu tumbuh dan menyatu sebagai budaya dalam masyarakat Belanda.

Popularitas sepeda sudah terasa sebelum orang memasuki negara itu. Dalam perjalanan kereta api dari Brussel menuju Groningen di Belanda Utara pekan lalu, Tempo melihat seorang bapak dengan tenang membawa sepeda lipat dan meletakkannya di rak atas kepala. Dan, saat turun, tampaklah bahwa di setiap gerbong kereta itu setidaknya ada satu orang seperti dia.

Di negeri itu, jumlah sepeda melebihi jumlah penduduknya. Statistik pada 2005 menunjukkan ada sekitar 18 juta sepeda untuk sekitar 16 juta penduduk. Kepemilikan ini berbanding lurus dengan penggunaan. Belanda menempati posisi negara pesepeda nomor satu di dunia: 27 persen dari seluruh mobilitas penduduknya dilakukan dengan sepeda. Bandingkan dengan Amerika Serikat, dengan “budaya mobil”-nya: hanya satu persen transportasi dilakukan dengan sepeda.

Di antara kota-kota yang cukup besar di Belanda, Groningen menempati posisi persentase bersepeda tertinggi. Wajah Groningen sebagai kota sepeda terasa begitu keluar dari stasiun. Ribuan sepeda tampak berjejer di tempat parkir bertingkat di bawah tanah stasiun. Dengan tidak mengganggu pemandangan arsitektur stasiun berumur lebih dari 100 tahun itu, tempat parkir tersebut sanggup menampung lebih dari 4.500 sepeda. Sekitar 50 meter ke arah kanan ada pula terminal bus kota.

Berpadunya sepeda dengan bus kota, kereta api, dan transportasi umum lain seperti ini menjadi pola transportasi di kota-kota Belanda. Hampir setiap stasiun punya tempat penyewaan sepeda. Jaringan jalur sepeda di Belanda dibuat sedemikian rupa sehingga terpisah dari alur jalan raya. Jalur itu bahkan bisa memotong blok bangunan dan gang-gang, yang merupakan jalan buntu bagi mobil. Semua jalur itu memiliki tanda lalu lintas yang seragam dan mudah diikuti. Rute-rute berwarna khusus dan bernomor itu bahkan memudahkan orang yang baru pertama kali melihatnya.

Jalur sepeda menawarkan jalan pintas yang lebih cepat daripada jalur pengendara kendaraan bermotor. Banyak jalan searah untuk mobil yang menjadi jalan dua arah untuk sepeda. Di persimpangan pun mereka diprioritaskan, dan kalau belok kanan (di sana arus lalu lintas di sisi kanan jalan), mereka boleh jalan langsung.

Untuk lebih menguntungkan dan melindungi pesepeda, jalan di daerah perumahan juga menerapkan metode pelambatan lalu lintas. Kecepatan dibatasi 30 kilometer per jam di perumahan. Di jalan yang sempit, mobil bahkan harus minggir untuk memberikan jalan bagi pesepeda dan pejalan kaki.

Bila dengan prioritas itu masih juga terjadi kecelakaan antara sepeda dan kendaraan bermotor, hukum lalu lintas di Belanda sepenuhnya melindungi pesepeda. Tidak peduli kesalahan di pihak siapa, kendaraan bermotorlah yang menanggung biaya atau kerugian yang ditimbulkan akibat kecelakaan. Ini mendukung prinsip bahwa di jalan raya yang kuat harus mengalah atau melindungi yang lemah.

Di Groningen bahkan beberapa perempatan lampu lalu lintas untuk sepeda bisa menyala hijau serentak. Maka semua pesepeda serempak melintasi persimpangan itu, tapi tetap saling memberi jalan. Di sinilah sopan santun lalu lintas bersepeda betul-betul dipraktekkan. Kota Groningen, yang berpenduduk 184 ribu jiwa, memiliki sekitar 300 ribu sepeda dan jalur khusus sepeda sepanjang 205 kilometer.

l l l

Penggunaan sepeda di Belanda sesungguhnya sempat merosot akibat serbuan kendaraan bermotor. Pada periode 1952 hingga 1970-an, tingkat penggunaan sepeda pernah turun hingga lebih dari 50 persen. Baru pada 1980-an angka itu kembali merangkak naik, hingga kini.

Itu semua tidak bisa dilepaskan dari pengaruh politik. Pada 1970-an, dengan banyaknya partai berhaluan sosialis yang memenangi pemilihan umum di kota-kota Belanda, paradigma untuk mengutamakan kota yang ramah dan berwajah sosial mengemuka. Kota-kota dirancang untuk mengurangi lalu lintas kendaraan bermotor. Mereka berpendapat pusat kota harus dibuat seperti “ruang keluarga” bagi masyarakat kota.

Pengembangan sepeda dilakukan dengan dua arah: mempersulit akses mobil dan mempermudah akses sepeda ke pusat kota. Alur mobil mula-mula dibuat harus memutar melalui jalan lingkar bila hendak ke tengah kota. Kemudian jalan-jalan dibuat searah sehingga mobil tidak lalu-lalang.

Kebijakan ini ditimpali dengan tarif selangit untuk parkir mobil di tengah kota. Di Amsterdam, misalnya, tempat parkir mobil di dekat Stasiun Amsterdam, yang tak jauh dari tempat parkir sepeda yang gratis, merupakan salah satu tempat parkir yang tarifnya termahal di dunia. Untuk sekitar dua jam parkir saja, pengendara harus membayar 10 euro atau sekitar Rp 120 ribu.

Akibat kebijakan ini, sejak 1980-an timbul peningkatan penggunaan sepeda. Terlebih di kota seperti Groningen, tempat Partai Hijau sempat memimpin.

“Groningen sempat berganti pemerintah partai sayap kanan, tapi kebijakan bersepeda tetap saja mendapat dukungan,” kata Jaap Valkema, pegawai bidang lalu lintas dan transportasi Kota Groningen.

Jaap bercerita, bahkan di masa krisis ekonomi seperti saat ini pun, kantornya selalu diutamakan pemerintah. “Jika bagian saya meminta dana untuk sarana sepeda, hampir selalu ada. Sedangkan bila bagian lain minta, malah terkena pengetatan anggaran,” katanya seraya tersenyum.

Bersepeda memang sudah membudaya di sana. Sepeda ontel Belanda, yang dikenal sebagai opafiets atau omafiets, masih sangat populer. Modifikasi yang umum dilakukan padanya hanyalah tambahan tas barang di boncengan belakang atau transmisi tiga kecepatan. Bila Anda berjalan di pusat kota seperti Utrecht, Groningen, Den Haag, dan Amsterdam, akan terlihat betapa pengendara sepeda mengayuh dengan santai. Jarang ada yang bergegas.

Jarang terlihat orang Belanda menggunakan sepeda gunung dengan transmisi sampai 21 atau 27 kecepatan di tengah kota, karena memang bukan pada tempatnya sepeda semacam itu ada di sana. Sebaliknya, orang menunggangi sepeda gunung di tengah kota sudah menjadi pemandangan umum di Jakarta.

Meski jumlah pesepeda di sana luar biasa besar, tak ada organisasi atau komunitas pesepeda yang besar. “Mereka tidak memandang diri mereka sebagai pesepeda. Mereka bersepeda sesuka mereka,” kata Hans Voerknecht, warga Belanda yang sehari-hari menggunakan sepeda model setengah rebah.

Hal ini diiyakan oleh Jaap Valkema. “Untuk memasyarakatkan sepeda di Groningen, hampir tidak ada kampanye. Yang penting sediakan sarana yang baik dan fokus pada itu,” katanya.

Hans malah mengkritik orang di negeri lain yang memandang bersepeda sebagai gaya hidup dan kemudian berkelompok menggunakan sepeda mahal dan aksesori macam-macam. Bagi Hans, orang semacam itu bukan propagandis sejati dalam memasyarakatkan penggunaan sepeda.

l l l

Di tengah tingginya animo bersepeda di Belanda, Rotterdam adalah sebuah anomali. Di Amsterdam sekitar 40 persen transportasi dilakukan dengan sepeda, tapi di Rotterdam jumlah pesepeda tak sampai 20 persen. Rotterdam memilih menjadi “kota mobil”.

Perubahan ke arah sepeda di Rotterdam berjalan lambat karena demografinya. Di sana ternyata banyak orang berpenghasilan rendah yang menggunakan mobil. “Orang berpenghasilan rendah lebih ingin menunjukkan simbol status, seperti mobil. Bagi mereka, bersepeda menunjukkan mereka tidak mampu beli mobil,” kata Hans.

Dengan adanya variasi di kota-kota Belanda dalam membangun sarana transportasi sepeda, jelaslah bahwa tidak ada kebijakan nasional soal sepeda di negeri itu. Yang utama adalah kreativitas pemerintah daerah masing-masing. Patokan yang umum adalah membuat kebijakan dengan sasaran ganda, yaitu meningkatkan penggunaan sepeda dan di saat yang sama meningkatkan keselamatan pengguna sepeda di jalan raya.

Statistik yang dikumpulkan oleh Universitas Rudgers, Amerika Serikat, menyimpulkan bahwa di negara-negara yang tinggi pengguna sepedanya, tingkat kecelakaan sepeda justru turun. Sebagai contoh, di Belanda, tingkat kecelakaan pesepedanya lebih rendah enam kali lipat dibanding Amerika Serikat, padahal tingkat pengguna sepeda di Belanda berpuluh kali lipat lebih tinggi daripada di Amerika Serikat. Artinya, makin banyak sarana bersepeda, makin aman orang bersepeda dan mendorong makin banyak lagi pesepeda. Mungkin itu pula yang menyebabkan hampir tidak ada orang yang memakai helm sepeda di Belanda.

Di Belanda, pemerintah-pemerintah daerah tidak membuat perencanaan sarana jalur sepeda yang canggih. “Tidak ada desain besarnya. Kami mulai dengan satu jalur dan mengembangkannya sesuai dengan kondisi,” kata Jaap.

Walau tidak ada desain besar, kota-kota Belanda menjalankan kebijakan transportasi sepeda secara berkesinambungan dan menyatu dengan sisi-sisi kebijakan kota lainnya. Banyak ahli transportasi dari kota-kota di Eropa, Amerika, Jepang, dan Cina yang datang menimba ilmu ke Groningen, Utrecht, hingga Amsterdam untuk melihat langsung penerapan kebijakan sepeda.

Untuk negara-negara maju, Kementerian Transportasi, Air, dan Pekerjaan Umum Belanda membentuk Badan Konsultasi Sepeda, yang mengkoordinasi informasi dan penyebarluasannya dalam bentuk informasi di Internet dan lokakarya. Bagi negara-negara berkembang, lain lagi penanganannya. Di bawah Kementerian Luar Negeri Belanda dibentuk Interface for Cycling Expertise (I-CE), yang menjalankan Program Kemitraan Sepeda dengan skema bantuan yang berfokus pada wilayah-wilayah Amerika Latin, Afrika, dan Asia.

“Bersepeda di negara berkembang dapat membantu melawan kemiskinan. Sepeda adalah sarana transportasi yang terjangkau,” kata Tom Godefrooij dari I-CE, yang sedang berada di Antalya, Turki, untuk menjalankan program kemitraan itu.

Untuk pengembangan di negara-negara yang rendah penggunaan sepedanya, biasanya disampaikan pesan utama soal keselamatan. Hal kedua adalah kelompok sasaran. Penting untuk membuat sarana bersepeda yang aman untuk anak-anak ke sekolah guna membiasakan bersepeda sejak kecil. Pada prinsipnya, ditekankan tidak bisa membangun infrastruktur bersepeda dalam waktu singkat.

Sejauh ini kota yang dianggap berhasil adalah Santiago, Cile. Sudah ada komitmen pemerintah kota untuk membangun 660 kilometer rute bersepeda. Lembaga swadaya masyarakat Ciudad Viva di Cile aktif menghimpun berbagai pemangku kepentingan untuk membangun visi transportasi perkotaan yang berkelanjutan. Mereka berhasil membuat manual desain infrastruktur bersepeda khas Cile.

Tom tidak menyembunyikan bahwa program mereka itu agak antikendaraan bermotor. “Lebih baik bila bisa mengganti mobilitas di dalam kota yang relatif pendek dengan bersepeda,” ujar pria 60 tahun yang memutuskan tidak memiliki mobil ini. Sayangnya, kota-kota Indonesia belum masuk program I-CE karena hingga saat ini belum ada permintaan untuk itu.

Tantyo Bangun

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*