Polisi Menilangku, dan Polisi itu Temanku

Pernahkah Anda ditilang polisi? Ah, sudah terlalu sering kita melanggar lalu lintas, dan polisi lalu lintas (polantas) pun kemudian menilang. Dengan beragam cara, kita mengemukakan alasan supaya tidak ditilang. Tapi, polisi juga tak kurang akal untuk menilang. Ambil buku tilang, tulis, kemudian menyerahkan bukti surat tilang ke kita? Setelah itu, SIM kita pun ditahannya. Apes deh…

Itu salah satu dari sekian banyak pelanggaran lalu lintas, seperti tidak memiliki surat kelengkapan kendaraan, tidak membawa helem saat mengendarai motor, memotong jalan forbidden, melanggar lampu merah, mengambil jalu busway, dan lainnya.

Nah, cerita berikut ini, mungkin menarik bagi kita sebagai pelajaran agar kita menaati lalu lintas. Kisah ini sudah sangat lama, tapi tak ada salahnya kita share disini sebagai peringatan bagi kita untuk bersikap baik dalam berlalu lintas.

*****

Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Jono segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat, sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lengang. Lampu berganti kuning. Hati Jono berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala. Jono bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. “Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak,” pikirnya sambil terus melaju.

Priiiiit! Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jono menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing.

Hey, itu khan Bobi, teman mainnya semasa SMA dulu. Hati Jono agak lega. Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya. “Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!”

“Hai, Jon.” Jawanya tanpa senyum. “Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri saya sedang menunggu di rumah.” “Oh ya?” kata polisi yang bernama Bobi agak ragu. “Nah, bagus kalau begitu,” piker Jono dalam hati.

“Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong.” “Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini.

“Oooo, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jono harus ganti strategi. “Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala. “Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan. “Ayo dong Jon. Kami melihatnya dengan jelas. “Tolong keluarkan SIM-mu,” kata Bobi dengan tegas. Dan dengan ketus pula Jono menyerahkan SIM, lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya.

Sementara Bobi menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Bobi mengetuk kaca jendela. Jono memandangi wajah Bobi dengan penuh kecewa. Dalam hati, ia mengumpat si Bobi yang menilangnya. Dibukanya kaca jendela itu sedikit. Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Bobi kembali ke posnya….

Jono mengambil surat tilang yang diselipkan Bobi di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata SIM-nya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jono membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bobi.

“Halo Jono, Tahukah kamu Jon, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah. Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas, ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk. Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini…. Maafkan aku Jon. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah. (Salam, Bobi).

Jono terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bobi. Namun,Bobi sudah meninggalkan pos jaganya entah ke mana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak menentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan……

Itulah kawan, tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati.

sumber : http://kerendanunik.wordpress.com

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*