2024, Ditargetkan Semua Gampong di Banda Aceh Punya Bumdes

posaceh.com, Banda Aceh – Pemerintah Kota Banda Aceh melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DPMG) Banda Aceh menargetkan semua gampong atau desa memiliki badan usaha milik desa (Bumdes) pada 2024.

Untuk itulah DPMG terus pro aktif melakukan pendamping dan pembinaan setiap saat terhadap desa yang belum memiliki Bumdes, untuk bisa memiliki badan usaha.

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong Kota Banda Aceh Ir. Muhammad Syaifuddin Ambia, ST.MT menyebutkan, dari 90 desa, diantaranya 66 desa sudah memiliki badan usaha atau Bumdes.

Muhammad Saifuddin mengatakan, sebanyak 66 Bumdes sudah dan terus aktif melakukan kegiatan usaha. Namun belum semua juga yang sudah terdaftar di Kementerian Desa (Kemendes) dan belum memiliki surat keputusan (SK) dari Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (Kemenkumham).

Dari 66 Bumdes tersebut baru 28 Bumdes yang terdaftar di Kemendes, dan sudah ada legalitasnya dengan mendapatkan SK dari Menkumham sebagai legalitas bagi Bumdes itu sendiri. Sehingga ada 38 Bumdes yang belum terdaftar di Kemendes dan belum memiliki SK dari Kemenkumham.

Pihaknya juga akan terus mendorong dan melakukan pendamping terhadap Bumdes tersebut bisa terdaftar di Kemendes dan mendapatkan SK dari Kemenkumham.

Katanya, dari 28 Bumdes tersebut diantaranya 8 Bumdes yang bergerak di bidang usaha produk sempat diikutsertakan pada pameran expo yang pertama pada Pekan Kebudayaan Aceh yang digelar di Taman Sulthanah Safiatuddin, 4 – 12 November 2023.

Diantara 8 Bumdes Lambhuk, Prada, Geuceu, Panteriek, Ceurieh, Peuniti. Karena yang diminta ditampilkan Bumdes yang punya usaha produk bukan sektor jasa.

Disebutkannya, keberadaan badan usaha milik desa merupakan binaan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong (DPMG) Kota Banda Aceh.

Sementara itu, Kepala Bidang (Kabid) Pemberdayaan Ekonomi dan Kerjasama, Fakrul Razi, ST menjelaskan, untuk memulai menjalankan usahanya Bumdes mendapatkan penyertaan modal dari gampong atau desa.

Pertama, desa memberikan modal kepada Bumdes untuk menjalankan usaha. Kedua, juga inovasi dari Bumdes itu sendiri untuk memperoleh bantuan atau hibah dari pihak ketiga dan bekerjasama dengan investor.

Fakrul menyebutkan, Bumdes juga bisa bebas menjalankan jenis usahanya, sesuai yang ada dalam perencanaan kerjanya Bumdes itu sendiri.

Misalnya, suatu Bumdes ada jenis usahanya jasa rental mobil, lalu ada usaha air mineral. “Kalau mau ekspansi, harus merevisi anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya (AD ART). Jadi jenis usahanya harus sesuai yang ada dalam AD ARTnya,” katanya menjelaskan.

Dijelaskannya, suatu badan usaha milik desa, Bumdes berdiri sendiri dan terpisah dari pemerintahan desa, tetapi direktur dan pengurusnya dipilih dalam musyawarah desa (Musdes).

Begitu juga mengenai bagi hasil, sesuai dengan keputusan musyawarah yang diatur dalam anggaran dasar. Misalnya, setiap tahun bagi hasilnya untuk pendapatan desa 25 persen, Bumdes 25 persen, untuk penambahan modal Bumdes 50 persen. Itu dibagi sesuai musyawarah desa dan anggaran dasar.

Disebutkan, Badan Usaha Milik Desa sudah ada dan terbentuk di Banda Aceh sejak 2012, karena pada saat itu, setiap desa atau gampong yang menerima dana Bantuan Keuangan Peumakmu Gampong (BKPG) dari Provinsi Aceh, wajib mempunyai Bumdes.

Pada saat itu legalitasnya hanya sebatas tingkat desa yaitu berupa reusam (tata cara dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat).

Sedangkan pendiriannya cuma ada peraturan Keuchik untuk anggaran dasarnya. “Jadi hanya sebatas desa saja. Belum ada legalitas dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham),” sebut Fakrul.

“Baru ada legalitas dari Kemenkumham, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2021, sehingga bisa kita daftarkan melalui aplikasi Sistim Informasi Desa (SID), setelah diterima baru ditindaklanjuti ke Kemenkumham,” katanya. (Sudirman Mansyur).

https://posaceh.com